Jumat, 22 Maret 2013

Everything Begins With Ourselves

Entah benar atau gak kalimat di atas, itu tidak penting. Yang penting isi post satu ini. Hahah.

Terkadang manusia memang senang sekali masuk ke dunia orang lain. Lebih memilih mengurusi urusan orang lain daripada urusannya sendiri.

Terkadang ada manusia yang mau mengurusi urusannya sendiri, tapi terkadang juga melakukan pekerjaan sampingan: mengurusi orang lain.

Terkadang ada manusia yang lebih senang hidup di dunianya sendiri. Tidak peduli dengan dunia luar. Tidak peduli dengan urusan orang lain. Dan juga tidak menginginkan orang lain untuk mengurusi urusannya.

Sering sekali ada manusia yang mengatakan wajah orang lain itu jelek, padahal ia tidak pernah bercermin dan melihat wajahnya sendiri yang penuh dengan jerawat.

Sering sekali ada manusia yang membohongi dirinya sendiri, mengatakan "Aku bisa melupakan dia kok." tapi pada saat itu juga bayangan orang yang ingin dia "lupakan" itu semakin merajalela di pikirannya.
Karena itulah, dia semakin dibuat pusing oleh kebohongannya sendiri. Dia menambahkan beban dalam dirinya sendiri. Dia terlalu sibuk meyakinkan dirinya sendiri dan orang lain dengan apa yang ia katakan. Sampai-sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan bagaimana caranya melupakan orang itu.

Manusia yang mampu membohongi dirinya sendiri, akan sangat mudah membohongi orang lain.

Seorang anak kecil mencuri uang milik ayahnya. Ia menghabiskan uang itu lalu berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ketika sang ayah menyadari uangnya hilang dan bertanya pada anak itu, dengan sangat mudah ia membohongi ayahnya dengan berkata : "Aku tidak mencuri, ayah."
Karena dia telah membohongi dirinya sendiri dengan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bahkan jika dia memang sudah "ahli" dalam hal ini, mungkin dia akan menambahkan kata-kata "peyakinan" seperti ini: "Aku tidak mencuri, ayah. Mungkin uang ayah terselip di saku celana ayah yang dicuci ibu kemarin. Coba ayah tanyakan pada ibu, apakah ia melihat uang ayah yang hilang itu?"
Dan jika dia benar-benar sangat "ahli", dia akan mengatakannya dengan sangat tenang. Menatap kedua mata ayahnya, dan memasang tampang polos tidak bersalah.

Belajarlah untuk jujur pada diri sendiri. Katakan kenyataan apa adanya (tapi bukan berarti pasrah pada kenyataan).

Manusia yang mampu mengingkari janji terhadap dirinya sendiri, akan sangat mudah melupakan janjinya pada orang lain.

Seorang pria yang menduakan pacarnya dan dicampakkan oleh pacarnya, berdiri di depan cermin dan berkata: "Aku berjanji tidak akan menduakan wanita lagi."
Dua bulan berlalu. Dia mendapatkan seorang kekasih baru. Tetapi dia lupa dengan janjinya dulu. Ia bertemu dengan seorang wanita lain ketika sedang kencan dengan kekasih barunya itu. Dan dia tertarik pada wanita lain itu. Ia menduakan kekasih barunya. Dia telah mengingkari janji pada dirinya sendiri.
Lalu suatu hari, temannya bercerita padanya tentang betapa dia mengalami kesusahan ekonomi. Pria itu berkata dengan mantap: "Tenang saja, kawan. Aku janji aku akan membantumu. Aku akan meminjamkan uang padamu."
Tapi dua hari kemudian ketika dia menerima telepon dari temannya yang akan menagih janjinya, dia mematikan teleponnya dan pergi membeli sebuah SIM Card baru tanpa sepengetahuan temannya itu.
Dia tidak peduli lagi dengan "janji"nya itu.

Belajarlah menepati janji atau tekad terhadap diri sendiri. Apa yang telah kamu katakan menjadi pertanggungjawabanmu.

Manusia yang mengatakan orang lain itu buruk, dia sedang mengatai dirinya sendiri.

Seorang gadis sedang mengamati seorang temannya. Ia berbalik dan berkata pada temannya: "Lihat, dia berusaha memikat perhatian para lelaki. Padahal wajahnya tidak seberapa. Lihat tuh, wajahnya berminyak. Apa dia bangga punya wajah buruk rupa seperti itu?"
Lalu seorang temannya menjawab: "Dan apa kamu bangga punya mulut yang suka membicarakan orang lain seperti itu?" Gadis itu terdiam.

Mengatai orang lain buruk, bukan berarti Anda lebih baik daripada orang yang Anda katakan. Mungkin dia memang memiliki keburukan seperti yang Anda katakan, tapi jangan lupa, Anda juga memiliki keburukan, yaitu mulut yang buruk.
Sekarang saya sedang menyinggung gadis dalam cerita di atas. Ya, gadis itu juga buruk. Tapi saya tidak jauh beda dengannya. Cukup saya sadari itu dan tidak perlu dipermasalahkan.
Kita sesama manusia. Saling membicarakan, saling men-judge, saling mengomentari. Itu normal. Tapi tetap sadari keburukan diri sendiri.

Sebelum Anda melakukan sesuatu yang bersangkutan dengan orang lain,
lihatlah diri Anda terlebih dahulu. 

Kamis, 14 Maret 2013

What I Feel Today : I Can't Belive in Justice Anymore

Keadilan.
Dulu aku sangat percaya dengan kata ini. Sangat yakin bahwa orang-orang di dunia ini masih mengerti tentang keadilan dan masih bisa melakukan keadilan.
Sekitar 4 bulan yang lalu aku menonton sebuah drama tentang keadilan. Kisahnya tentang seorang cowok yang dituduh sebagai pembunuh oleh polisi. Cowok itu lalu kabur ke luar negeri. Sesungguhnya cowok itu tidak membunuh atas kemauannya sendiri. Ia disuruh oleh seorang pria kaya raya yang merupakan seorang pengusaha besar dan dihormati oleh banyak orang. Para polisi tentu tidak pernah mencurigai pria itu, karena mereka menghormati pria itu. Padahal sesungguhnya pria itulah yang melakukan banyak kejahatan selama ini, bukan cowok itu. Hal ini membuat cowok itu sama sekali tidak percaya lagi pada keadilan, paahal dulunya dia ingin menjadi seorang wartawan yang akan menguak semua kebenaran di depan publik dan membela orang yang benar. Tapi semua kandas setelah ketidakadilan yang ia alami.
Itulah yang terjadi padaku.
Aku sangat yakin bahwa orang-orang yang ku kenal ini mengerti keadilan. Dan aku sudah bertekad untuk menjadi orang yang mampu bersikap adil pada orang lain.
Tapi sejak seminggu yang lalu, aku terus mengalami ketidakadilan.

Pertama, seorang teman sekelasku, sebut saja Anna, ibunya telah meninggal. Ia terlihat sangat sedih karena itu. Tapi beberapa waktu kemudian, dia membeli beberapa barang-barang bagus nan mahal, seperti headset, ice watch, dan banyak lagi. Dan seminggu yang lalu, aku ditanya oleh bendahara kelasku, "Setuju gak kalau misalnya Anna gak bayar uang kas lagi? Dia bilang dia gak mampu."
Yang terlintas di pikiranku saat itu adalah: uang kas hanya Rp 5.000/minggu, sementara uang sekolah kami Rp 620.000/bulan. Kenapa dia sanggup membayar uang sekolah tapi tidak sanggup membayar uang kas. Yang lebih anehnya lagi adalah kenapa dia bisa membeli barang bagus nan mahal itu tapi tidak bisa membayar uang kas. Apa dia pikir dengan alasan ibunya sudah meninggal dan dia tidak mampu lagi, dia sudah bisa meminta untuk tidak membayar uang kas?
Awalnya aku memang tidak setuju. Sangat tidak setuju. Dia bagian dari kelas kami. 27 orang membayar uang kas tiap minggu, dan hanya dia seorang yang tidak membayar? Adil? TIDAK. Tapi setelah dipikir-pikir, aku mengambil sebuah keputusan, "Baiklah. Aku setuju. Tapi hanya sampai akhir semester dua kelas satu ini. Selebihnya, tidak bisa."
Ya, semua setuju. Dan dia tidak perlu lagi membayar uang kas hingga bulan Juni ini.

Kedua, suatu hari guruku tidak masuk dan memberi tugas. Aku langsung mengerjakannya di sekolah hari itu. Tapi hanya 3 orang yang benar-benar mengerjakan tugas itu hari itu. Sisanya, main. Dua hari kemudian ketika tugas itu akan dinilai, punyaku salah. Oke. Aku bilang sama gurunya aku akan kerjakan ulang. Salah seorang temanku, sebut saja Andi, dia tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru kami ketika guru kami itu tidak masuk dua hari yang lalu. Pulangnya, ia meminta jawaban pada temannya. Lalu ia mendapat nilai hari ini. Bahkan hanya dia yang langsung mendapat nilai. Karena tugasnya sangat banyak, aku pun memutuskan untuk menyalin jawabannya saja yang sudah benar. Ketika aku menyalin jawabannya itu, sang guru bertanya pada Andi, "dimana bukumu? Kamu memberi contekan pada temanmu?". Dia mulai mengomel, "Apa gunanya kalian menyontek? Yang kalian perlukan adalah ilmu, mengerti pelajaran yang disampaikan. Kalau kalian menyontek, kalian tidak akan pernah bisa."
Jujur saja, aku adalah murid kesayangan guru itu. Aku tidak yakin dia mengetahui bahwa aku yang menyontek jawaban Andi. Tapi, sikap dia padaku mulai dingin. Nampaknya dia cukup kecewa.
Yang aku pikirkan adalah, dia hanya melihat apa yang ada di depannya, tapi tidak melihat yang di belakangnya. Yang di belakangnya rajin tapi membuat sedikit kesalahan di depannya, ia akan menganggap orang itu salah. Tapi yang di belakangnya menyontek, lalu di depannya tampak seolah-olah sangat rajin dan pintar, dia anggap benar. Dia kecewa padaku? Aku jauh lebih KECEWA!

Ketiga, lagi-lagi karena guru itu. Ia datang ke kelasku hari ini pada jam pelajaran Perpajakan. Lalu dia mengomel tentang piring bekas makan yang sudah diletakkan di sudut kelas kami sejak sebulan yang lalu. Ya, memang kami yang salah karena tidak membuang piring itu secepat mungkin, tapi dia juga salah karena tidak mengetahui kebenarannya. Sebenarnya, piring itu bukanlah diletakkan oleh murid kelas kami. Karena pada saat hari raya imlek, sekolah kami tidak libur. Murid-murid yang merayakan imlek boleh meminta ijin selama 3 hari. 28 orang di kelas kami adalah Buddhis yang merayakan imlek. Otomatis pada tanggal 11-13 Februari 2013 itu kami tidak ada di sekolah dan kelas kami dibiarkan kosong. Yang hadir hanya beberapa murid jurusan Akuntansi dan murid-murid jurusan Keperawatan. Begitu tanggal 14 Februari ketika kami masuk sekolah, piring itu sudah ada, dan kami tidak tahu siapa yang meletakkannya disana. Tapi ketika aku menjelaskan hal itu pada guruku itu, dia malah berkata dengan cukup kasar: "Saya tidak mau tahu. Kalian seharusnya bisa sadar. Melihat ada kotoran di situ, ya dibuang. Apa kalian gak jijik melihat piring bekas itu? Guru-guru saja sampai complain. Masa' hal begitu saja mau diajarkan? Terus, kemarin yang debu-debu dan kotoran di dekat meja guru itu, kalian bilang itu karena atap yang rusak itu? Atapnya aja di pinggir kiri, memangnya bisa sampai ke tempat meja guru di pojok kanan? Lalu tanah di belakang kelas itu? Kalian bilang itu tanah dari pot di luar dan kalian gak tau kenapa bisa masuk ke dalam kelas? Kalian kan ada piket, masa' tidak memperhatikan hal-hal seperti itu? Alasan aja."
Kalau saja dia bukan wali kelas ku, dan bukan orang yang lebih tua dari aku, mungkin sudah kutampar dia. Dia tidak pernah percaya pada kami. Apa kami seburuk itu di mata dia? Bahkan penjelasan kami pun tidak mau dia dengar.

Aku sangat membenci orang yang memandang orang lain sebelah mata dan tidak mengerti pentingnya KEADILAN.

Ingat! Sesering apa pun seseorang melakukan kesalahan, tidak selamanya dia salah.
Sekali orang itu jatuh, tidak selamanya dia merangkak sepanjang perjalanan. Dia akan belajar dari kesalahan dan tidak akan pernah terjatuh lagi karena hal yang sama.
Jangan hanya memiliki sepasang mata di kepalamu, tapi milikilah mata di hatimu untuk melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata kepalamu!